Kamis, 18 Oktober 2012

Indonesiaku “Rangking Satu”




Cita; Negeriku Hebat?
Dalam sebuah Sanggar Baca Masyarakat di kelurahan Tondo. “ka’ apa itu koruptor?” celetuk salah seorang anak mengomentari slogan/sablonan di bajuku yang bertuliskan LAWAN KORUPTOR.
“koruptor itu…. Orang yang korupsi de’..mencuri uang negara”. jawabku singkat.
“ka’ koruptor mau dilawan pake apa?, pake ketapel bisa?” tambahnya tajam.
“pake Jin mungkin bisa de’…” jawabku tertawa lepas. Dan anak itu pun tertawa geli.

Dialog singkat yang terjadi mengingatkan kita dengan iklan sebuah produk rokok yang menghilangkan dokumen-dokumen kasus korupsi di Indonesia dalam sekejap. Sontak membuat kaget lawannya yang hanya bisa menghilangkan gunung Fujiyama Jepang dan Piramida Mesir. Ajaib.
Memang tepat bila fenomena korupsi telah menjadi masalah internasional yang sulit untuk diberantas di berbagai negara dunia, termasuk di Indonesia. Bahkan negara indonesia telah menerima award sebagai salah satu negara terkorup di dunia. Untuk kawasan Asia, negara Indonesia termasuk kelas atas negara korup. Tentunya fenomena ini melahirkan begitu banyak pertanyaan di benak kita. Betapa tidak, lemahnya hukum telah memberi iklim kondusif bagi “membudayanya” korupsi dalam kehidupan umat manusia, sehingga orang yang tidak melakukan korupsi dianggap sebagai “orang yang menyimpang” dari kelaziman banyak manusia. Fenomena korupsi sangat menzalimi umat manusia, sebab ia memakan korban yang tak terhitung banyaknya.
Dilain kesempatan terjadi dialog seorang mahasiswa yang bertanya pada Dosennya.
“pak, Indonesia dan beberapa negara mayoritas Islam kok justru jadi negara paling korup di dunia?” tanyanya.
“apa karena hukumnya lemah? Atau karena kesadaran ber-islamnya yang lemah?”. Sambungnya.
Sekilas pertanyaan ini menyudutkan. Namun mari kita cermati secara bijak dan hati jernih. Bisa jadi ada benarnya. Mungkin saja salah satu titik lemahnya adalah pada lemahnya iman. Telah jauhnya nilai-nilai moral dan ke-islaman dalam diri para koruptor yang notabene seorang muslim. Meskipun memang tak dapat digeneralisir kesemuanya. Sebab, sekali lagi, dikembalikan pada individu masing-masing.
Jika saja sosok pemimpin dan penguasa kita paham akan dirinya, tidak bertindak semauanya, menjadikan korupsi jalan hidupnya. Maka negeri ini akan lebih tenteram. Tentu saja kita merindukan sosok pemimpin yang memiliki “karakter”. Diskursus mengenai sosok pemimpin bangsa yang berkarakter kerap  mewarnai setiap perbincangan  di beberapa station TV, tentu saja Goalnya adalah bangsa ini pula akan menjadi berkarakter.
Lantas, benarkah negeri kita pernah hebat? Jika membuka lembaran sejarah, banyak ditemui sosok-sosok reformis, sosok-sosok agamais, sosok-sosok pemimpin yang benar memiliki karakter. Berbeda dengan sekrang, akan lebih banyak kita temui sosok-sosk pemimpin penebar janji manis,  janji yang tak pernah realistis, sosok pemimpin yang doyan buat rakyatnya menangis. Keadilan Pemimpin tampak dari kesabarannya saat dia punya kekuasaan, punya jabatan, dan punya kekuatan (Erie Sudewo; Character Building, 2011).
Selain Ali Sadikin yang namanya terus bersinar karena karakter pemimpin yang dimilikinya. Kita ingat, dahulu di Ibu Kota Negara juga ada sosok pempimpin yang pernah di sanjung oleh KH.Abdul Rahman Wahid saat menjadi Presiden RI. “hanya ada dua polisi yang tidak bisa disogok. Polisi Tidur dan Hoegeng”. Ya, Hoegeng Imam Santoso, model pemimpin yang berkarakter.
Beliu pernah diberi tugas ke Kepala Bareskrim Sumut (sumatera Utara), saat itu sumut sangat dikenal dengan mafianya. Sogokan Rumah pribadi lengkap dengan mobil dan perabotan isi rumah ditolaknya mentah-mentah. Bahkan saat mendapatkan rumah dinas, seluruh perabotan isi rumah dinas yang berasal dari sogokan para mafia, disingkirkannya ditaruh ditepi jalanan depan rumah dinasnya. Peristiwa ini, membuat gempar kota medan. Betapa tidak, ini kali pertama ada seorang pejabat polisi tak mempan sogokan.
Saat kembali ke Jakarta, Hoegeng diangkat menjadi Menteri Iuran Negara dalam Kabinet Seratus Menteri. Menariknya, Hoegeng kembali menolak tegas saat ditawari mobil dinas. “Saya masih punya mobil dinas, dan cukup satu saja. Tugas saya sekarang mencari uang untuk negara, bukan menghabiskan uang negara”, katanya.
Na’as, ditengah kecenderungan untuk mencetak bibit-bibit pemimpin berkarakter, nampaknya tergerus oleh ralitas kekinian negeri kita. Sebut saja yang tak kalah menariknya, kekisruhan dua kubuh pentolan pembasmi koruptor. Ya, Cicak Versus Buaya jilid II. KPK bersitegang dengan POLRI, siapa salah dan siapa yang benar? Banyak pendapat. Yang pasti, koruptor terbahak.

Korupsi dalam optik Islam
Sebagai agama yang universal, ajaran Rahmatan Lil’alamin, agama yang bertumpu pada Al-Qur’an dan Sunnah. Sudah barang tentu, secara tegas tidak membenarkan praktek korupsi dilakukan oleh setiap ummatnya. Meski dalam khazanah hukum islam tak ditemukan istilah korupsi. Namun demikian, secara kasuistik dalam islam korupsi lebih tepat dipadankan dengan –menurut madzhab syafi’iyyah- tindakan penghinatan terhadap harta atau dalam istilah fiqih disebut dengan Ghulul, selain itu pula korupsi juga dikategorikan dalam penipuan yang dalam istilah fiqihnya disebut Al-Ghasysy. Sehingga dalam islam, penghukuman seorang pelaku tindak korupsi atau Ghulul atau Al-Ghasysy maka secara substansinya dikembalikan pada dalil-dalilnya masing-masing. Dalam referensi lain, akan ditemukan istilah Risywah yang berarti memberi suap atau sogok.
Berkaitan dengan Al-Ghasysy, Rasulullah SAW bersabda: “barang siapa yang menipu maka dia bukanlah dari golongan umatku.” (HR.Muslim).
Rusaknya Akhlaq adalah akumulasi dari sikap ketamakan, konsumerisme, budaya hedonisme, dan krisis moral. Kecintaan yang berlebihan terhadap kesenangan dan kemewahan dunia membuat akhlaq kian tergerus. Menipis, bahkan bisa jadi habis.
Bukan rahasia lagi, disetiap Departemen dan Kementerian di Indonesia hampir-hampir menjadi lahan basah bagi “Reformis Korup”, berniat mengubah tatanan menjadi bersih melalui semangat reformasi justru malah menambah daftar nama pelaku korup. Bukan khayalan semata, ini benar terjadi. Bahkan niat baik pemerintah tuk berantas korupsi tidak pernah berjalan lama dan pasti terhenti ditengah jalan disebabkan kehabisan nafas. Korupsi maupun pungli dari tingkat kecil hingga besar takkan pernah terelakkan dan akan tetap tumbuh subur. Jika masih ragu dengan hal ini, cobalah datang berkunjung ke kantor-kantor pelayanan publik pemerintah, atau semua yang bersinergi dengan permintaan jasa. Baik di pusat maupun daerah, terkesan seperti desentralisasi korupsi. Itulah sebabnya mengapa lembaga independen penilai rating korupsi internasional, tetap bersikukuh untuk menetapkan posisi Indonesia secara “terhormat” pada daftar paling atas negara terkorup didunia (Frans Winarta:2009).


Mission Impossible
“Tak ada yang mustahil di dunia ini”, kata bijak yang coba memberi secercah harapan dan asa. Meski kita tahu bahwa, langkah untuk mewujudkan hal yang impossible menjadi possible akan dengan sangat tertatih-tatih. Kita sudah sangat tahu dan tak bisa memungkiri bahwa korupsi biang keladi ambruknya perekonomian bangsa Indonesia. Korupsi dikatakan sebagai kejahatan luar biasa (extraordinary crime), hal ini menjadi sangat masuk akal sebab tindak korupsi mampu mengguncang stabilitas negara dan mempengaruhi citra sebuah negara. Berbagai elemen hukum ingin berkontribusi banyak dalam memerangi musuh bersama ini. Hukum sosial, hukum positif, bahkan hukum islam pun berperan.
Kondisi yang memperparah adalah Korupsi telah mengakar dan menjadi budaya Indonesia. Korupsi kemudian dianggap sebagai suatu hal yang lumrah terjadi, bahkan tidak sedikit yang berusaha menutup mata terhadap hal ini. Hal tersebut tidak boleh dibiarkan, masyarakat indonesia harus berani untuk memberantas korupsi hingga keakarnya. Kondisi Indonesia sudah semakin “parah”, betapa tidak ditiap harinya kita diperlihatkan akan bagaimana oleh sekelompok orang berupaya menelanjangi wajah hukum negeri ini. Praktek mafia peradilan (judicial corruption) pun tak terelakkan dan budaya korupsi yang semakin merajalela. Sekian banyak kasus yang belum jelas arahnya.
Meskipun demikian halnya, sebagai seorang muslim hendaknya kita mengembalikan pada diri kita pribadi. Upaya pengendalian diri tuk tidak melakukan tindak korupsi mestilah dimulai dari hati. Nilai-nilai keberislaman harus senantiasa di tancapkan sejak dini, sebab yakinlah bahwa Allah SWT dan malaikat-Nya senantiasa terus mengawasi setiap gerak-gerik kita.
Bukan hal yang mustahil membersihkan negeri ini dari para koruptor, dan bukan hal yang musthil pula, kelak tatkala negeri ini benar-benar terpuruk, akan muncul sosok-sosok pemimpin berkarakter.
Pada akhirnya, mari kita semua berpikir dengan jernih. Tidak sekedar ikut arus, saatnya untuk menentukan sikap. Apakah kita masuk dalam kelompok orang-orang yang tercerai berai dalam mozaik kebusukan hukum di Indonesia. Ataukah turut berkontribusi untuk perbaikan hukum dan turut serta dalam memerangi korupsi (to combating corruption).

Muhammad Iqbal.
Penulis adalah Koordinator. Div. Kaderisasi FLP Sulteng


Tidak ada komentar:

Posting Komentar