Cita; Negeriku Hebat?
Dalam sebuah Sanggar Baca Masyarakat di kelurahan
Tondo. “ka’ apa itu koruptor?” celetuk salah seorang anak mengomentari
slogan/sablonan di bajuku yang bertuliskan LAWAN KORUPTOR.
“koruptor itu…. Orang yang korupsi de’..mencuri uang negara”. jawabku
singkat.
“ka’ koruptor mau dilawan pake apa?, pake ketapel bisa?” tambahnya
tajam.
“pake Jin mungkin bisa de’…” jawabku tertawa lepas. Dan anak itu pun
tertawa geli.
Dialog singkat yang terjadi mengingatkan kita dengan
iklan sebuah produk rokok yang menghilangkan dokumen-dokumen kasus korupsi di
Indonesia dalam sekejap. Sontak membuat kaget lawannya yang hanya bisa
menghilangkan gunung Fujiyama Jepang dan Piramida Mesir. Ajaib.
Memang tepat bila fenomena korupsi telah menjadi masalah internasional
yang sulit untuk diberantas di berbagai negara dunia, termasuk di Indonesia.
Bahkan negara indonesia telah menerima award
sebagai salah satu negara terkorup di dunia. Untuk kawasan Asia, negara
Indonesia termasuk kelas atas negara korup. Tentunya fenomena ini melahirkan begitu banyak
pertanyaan di benak kita. Betapa tidak, lemahnya hukum telah memberi iklim kondusif bagi “membudayanya” korupsi
dalam kehidupan umat manusia, sehingga orang yang tidak melakukan korupsi dianggap
sebagai “orang yang menyimpang” dari kelaziman banyak manusia. Fenomena korupsi
sangat menzalimi umat manusia, sebab ia memakan korban yang tak terhitung
banyaknya.
Dilain kesempatan terjadi dialog seorang mahasiswa yang bertanya pada
Dosennya.
“pak, Indonesia dan beberapa negara mayoritas Islam kok justru jadi
negara paling korup di dunia?” tanyanya.
“apa karena hukumnya lemah? Atau karena kesadaran ber-islamnya yang
lemah?”. Sambungnya.
Sekilas pertanyaan ini menyudutkan. Namun mari kita
cermati secara bijak dan hati jernih. Bisa jadi ada benarnya. Mungkin saja
salah satu titik lemahnya adalah pada lemahnya iman. Telah jauhnya nilai-nilai
moral dan ke-islaman dalam diri para koruptor yang notabene seorang muslim.
Meskipun memang tak dapat digeneralisir kesemuanya. Sebab, sekali lagi,
dikembalikan pada individu masing-masing.
Jika saja sosok pemimpin dan penguasa kita paham akan
dirinya, tidak bertindak semauanya, menjadikan korupsi jalan hidupnya. Maka
negeri ini akan lebih tenteram. Tentu saja kita merindukan sosok pemimpin yang
memiliki “karakter”. Diskursus mengenai sosok pemimpin bangsa yang berkarakter
kerap mewarnai setiap perbincangan di beberapa station TV, tentu saja Goalnya adalah bangsa ini pula akan
menjadi berkarakter.
Lantas, benarkah negeri kita pernah hebat? Jika
membuka lembaran sejarah, banyak ditemui sosok-sosok reformis, sosok-sosok
agamais, sosok-sosok pemimpin yang benar memiliki karakter. Berbeda dengan
sekrang, akan lebih banyak kita temui sosok-sosk pemimpin penebar janji manis, janji yang tak pernah realistis, sosok
pemimpin yang doyan buat rakyatnya
menangis. Keadilan Pemimpin tampak dari kesabarannya saat dia punya kekuasaan,
punya jabatan, dan punya kekuatan (Erie Sudewo; Character Building, 2011).
Selain
Ali Sadikin yang namanya terus bersinar karena karakter pemimpin yang
dimilikinya. Kita ingat, dahulu di Ibu Kota Negara juga ada sosok pempimpin
yang pernah di sanjung oleh KH.Abdul Rahman Wahid saat menjadi Presiden RI.
“hanya ada dua polisi yang tidak bisa disogok. Polisi Tidur dan Hoegeng”. Ya,
Hoegeng Imam Santoso, model pemimpin yang berkarakter.
Beliu pernah diberi tugas ke Kepala Bareskrim Sumut
(sumatera Utara), saat itu sumut sangat dikenal dengan mafianya. Sogokan Rumah
pribadi lengkap dengan mobil dan perabotan isi rumah ditolaknya mentah-mentah.
Bahkan saat mendapatkan rumah dinas, seluruh perabotan isi rumah dinas yang
berasal dari sogokan para mafia, disingkirkannya ditaruh ditepi jalanan depan
rumah dinasnya. Peristiwa ini, membuat gempar kota medan. Betapa tidak, ini
kali pertama ada seorang pejabat polisi tak mempan sogokan.
Saat kembali ke Jakarta, Hoegeng diangkat menjadi
Menteri Iuran Negara dalam Kabinet Seratus Menteri. Menariknya, Hoegeng kembali
menolak tegas saat ditawari mobil dinas. “Saya masih punya mobil dinas, dan
cukup satu saja. Tugas saya sekarang mencari uang untuk negara, bukan
menghabiskan uang negara”, katanya.
Na’as, ditengah kecenderungan untuk mencetak
bibit-bibit pemimpin berkarakter, nampaknya tergerus oleh ralitas kekinian
negeri kita. Sebut saja yang tak kalah menariknya, kekisruhan dua kubuh
pentolan pembasmi koruptor. Ya, Cicak Versus Buaya jilid II. KPK bersitegang
dengan POLRI, siapa salah dan siapa yang benar? Banyak pendapat. Yang pasti,
koruptor terbahak.
Korupsi dalam optik Islam
Sebagai agama yang universal, ajaran Rahmatan
Lil’alamin, agama yang bertumpu pada Al-Qur’an dan Sunnah. Sudah barang tentu,
secara tegas tidak membenarkan praktek korupsi dilakukan oleh setiap ummatnya.
Meski dalam khazanah hukum islam tak ditemukan istilah korupsi. Namun demikian,
secara kasuistik dalam islam korupsi lebih tepat dipadankan dengan –menurut
madzhab syafi’iyyah- tindakan penghinatan terhadap harta atau dalam istilah
fiqih disebut dengan Ghulul, selain
itu pula korupsi juga dikategorikan dalam penipuan yang dalam istilah fiqihnya
disebut Al-Ghasysy. Sehingga dalam
islam, penghukuman seorang pelaku tindak korupsi atau Ghulul atau Al-Ghasysy
maka secara substansinya dikembalikan pada dalil-dalilnya masing-masing. Dalam
referensi lain, akan ditemukan istilah Risywah
yang berarti memberi suap atau sogok.
Berkaitan dengan Al-Ghasysy,
Rasulullah SAW bersabda: “barang siapa yang menipu maka dia bukanlah dari
golongan umatku.” (HR.Muslim).
Rusaknya Akhlaq adalah akumulasi dari sikap ketamakan,
konsumerisme, budaya hedonisme, dan krisis moral. Kecintaan yang berlebihan
terhadap kesenangan dan kemewahan dunia membuat akhlaq kian tergerus. Menipis,
bahkan bisa jadi habis.
Bukan rahasia lagi, disetiap Departemen dan
Kementerian di Indonesia hampir-hampir menjadi lahan basah bagi “Reformis
Korup”, berniat mengubah tatanan menjadi bersih melalui semangat reformasi
justru malah menambah daftar nama pelaku korup. Bukan khayalan semata, ini
benar terjadi. Bahkan niat baik pemerintah tuk berantas korupsi tidak pernah
berjalan lama dan pasti terhenti ditengah jalan disebabkan kehabisan nafas.
Korupsi maupun pungli dari tingkat kecil hingga besar takkan pernah terelakkan
dan akan tetap tumbuh subur. Jika masih ragu dengan hal ini, cobalah datang
berkunjung ke kantor-kantor pelayanan publik pemerintah, atau semua yang
bersinergi dengan permintaan jasa. Baik di pusat maupun daerah, terkesan
seperti desentralisasi korupsi. Itulah sebabnya mengapa lembaga independen
penilai rating korupsi internasional, tetap bersikukuh untuk menetapkan posisi
Indonesia secara “terhormat” pada daftar paling atas negara terkorup didunia
(Frans Winarta:2009).
Mission Impossible
“Tak ada yang mustahil di dunia ini”, kata bijak yang
coba memberi secercah harapan dan asa. Meski kita tahu bahwa, langkah untuk
mewujudkan hal yang impossible menjadi
possible akan dengan sangat
tertatih-tatih. Kita sudah sangat tahu dan tak bisa memungkiri bahwa korupsi biang keladi ambruknya
perekonomian bangsa Indonesia. Korupsi dikatakan sebagai kejahatan luar biasa (extraordinary crime), hal ini menjadi
sangat masuk akal sebab tindak korupsi mampu mengguncang stabilitas negara dan
mempengaruhi citra sebuah negara. Berbagai elemen hukum ingin berkontribusi banyak dalam
memerangi musuh bersama ini. Hukum sosial, hukum positif, bahkan hukum islam
pun berperan.
Kondisi yang memperparah adalah Korupsi telah mengakar dan menjadi budaya Indonesia.
Korupsi kemudian dianggap sebagai suatu hal yang lumrah terjadi, bahkan tidak
sedikit yang berusaha menutup mata terhadap hal ini. Hal tersebut tidak boleh
dibiarkan, masyarakat indonesia harus berani untuk memberantas korupsi hingga
keakarnya. Kondisi Indonesia sudah semakin “parah”, betapa tidak ditiap harinya
kita diperlihatkan akan bagaimana oleh sekelompok orang berupaya menelanjangi
wajah hukum negeri ini. Praktek mafia peradilan (judicial corruption) pun tak terelakkan dan budaya korupsi yang
semakin merajalela. Sekian banyak kasus yang belum jelas arahnya.
Meskipun demikian halnya, sebagai seorang muslim
hendaknya kita mengembalikan pada diri kita pribadi. Upaya pengendalian diri
tuk tidak melakukan tindak korupsi mestilah dimulai dari hati. Nilai-nilai
keberislaman harus senantiasa di tancapkan sejak dini, sebab yakinlah bahwa
Allah SWT dan malaikat-Nya senantiasa terus mengawasi setiap gerak-gerik kita.
Bukan hal yang mustahil membersihkan negeri ini dari
para koruptor, dan bukan hal yang musthil pula, kelak tatkala negeri ini
benar-benar terpuruk, akan muncul sosok-sosok pemimpin berkarakter.
Pada akhirnya, mari kita semua berpikir dengan jernih. Tidak sekedar
ikut arus, saatnya untuk menentukan sikap. Apakah kita masuk dalam kelompok
orang-orang yang tercerai berai dalam mozaik kebusukan hukum di Indonesia.
Ataukah turut berkontribusi untuk perbaikan hukum dan turut serta dalam memerangi korupsi (to
combating corruption).
Muhammad Iqbal.
Penulis adalah Koordinator. Div. Kaderisasi FLP Sulteng
Tidak ada komentar:
Posting Komentar